Selasa, 10 Juli 2012

Syair Madihin

PROSODI SYAIR MADIHIN PADA ADAT PERKAWINAN BANJAR DI LANGKAT: KAJIAN TEKS DAN FUNGSI TESIS Oleh: ERMA SATIFA 077009007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi antarsesama manusia dan bahkan dengan makhluk lain. Komunikasi yang dilakukan antarmanusia menggunakan media lisan dan bukan lisan. Media lisan ini sering juga disebut sebagai bahasa, yang terdiri dari berbagai unsur seperti fonem, morfem, kata, kosa kata, frasa, klausa, kalimat, tema, rema, dan lain-lainnya. Sementara komunikasi dengan media bukan lisan di antaranya adalah dengan menggunakan isyarat, mimik muka (mengekspresikan rasa sedih, duka, gembira, tidak suka, cinta, dan lainnya), gerakan-gerakan, bunyi-bunyian, nada, aksentuasi, dan lain-lain. Dalam konteks berkomunikasi antarsesama manusia, ada yang hanya menonjolkan unsur kelisanan saja. Misalnya, percakapan sehari-hari antara orang-orang di sekeliling kehidupan kita. Kuliah yang disajikan dosen dengan pengutamaan verbal. Contoh-contoh bahasa yang dapat didengarkan saat masuk ke laboratorium bahasa. Begitu juga pidato kenegaraan yang dituturkan oleh kepala negara. Bahkan, sampai kepada pembacaan teks-teks keagamaan dalam ibadah, misalnya kegiatan wirid Yassin dalam kehidupan umat Islam. Tidak jarang pula dalam kehidupan manusia, aspek bahasa verbal sering disampaikan dengan menggunakan unsur-unsur bukan lisan, seperti melodi, nada, Dalam konteks berkomunikasi antarsesama manusia, ada yang hanya menonjolkan unsur kelisanan saja. Misalnya, percakapan sehari-hari antara orang-orang di sekeliling kehidupan kita. Kuliah yang disajikan dosen dengan pengutamaan verbal. Contoh-contoh bahasa yang dapat didengarkan saat masuk ke laboratorium bahasa. Begitu juga pidato kenegaraan yang dituturkan oleh kepala negara. Bahkan, sampai kepada pembacaan teks-teks keagamaan dalam ibadah, misalnya kegiatan wirid Yassin dalam kehidupan umat Islam. Tidak jarang pula dalam kehidupan manusia, aspek bahasa verbal sering disampaikan dengan menggunakan unsur-unsur bukan lisan, seperti melodi, nada, ritme, intonasi, gerakan-gerakan tari atau teater, dan sejenisnya. Agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahasa yang disajikan sedemikian rupa biasanya memiliki struktur yang sedikit berbeda. Aspek estetik, musikal, repetisi, dan sejenisnya selalu menjadi dasar dari bahasa yang disajikan dengan cara bernyanyi atau dilagukan. Bahasa yang disajikan dengan aspek-aspek musikal banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Utara yang berpenduduk heterogen. Bahasa tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair. Tradisi ini terdapat dalam kehidupan suku-suku setempat, seperti Melayu, Karo, Pakpak, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias (kadang-kadang ditambah Lubu dan Siladang yang berada di wilayah Mandailing). Demikian juga dalam kehidupan suku-suku pendatang, seperti suku Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, Aneuk Jamee), Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, Bugis, dan termasuk suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini. Aspek musikal puisi lama dalam tradisi sastra lisan yang terdapat di Sumatera Utara, misalnya, dalam masyarakat Melayu dijumpai genre gurindam (teks keagamaan Islam dengan kategorisasi pasal-pasal), nazam (teks agama Islam satu bait dua baris, khusus dari Malaka), dan barzanji (teks berbahasa Arab atau terjemahannya dalam bahasa Melayu yang menceritakan tentang keberadaan Nabi Muhammad SAW). Di dalam tradisi masyarakat Batak Toba ada andung-andung (juga sastra yang bertemakan tentang kesedihan yang disajikan di depan jenazah); dalam masyarakat Aceh ada dedeng (syair tradisional Aceh) dan panton (pantun ritme, intonasi, gerakan-gerakan tari atau teater, dan sejenisnya. Agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahasa yang disajikan sedemikian rupa biasanya memiliki struktur yang sedikit berbeda. Aspek estetik, musikal, repetisi, dan sejenisnya selalu menjadi dasar dari bahasa yang disajikan dengan cara bernyanyi atau dilagukan. Bahasa yang disajikan dengan aspek-aspek musikal banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Utara yang berpenduduk heterogen. Bahasa tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair. Tradisi ini terdapat dalam kehidupan suku-suku setempat, seperti Melayu, Karo, Pakpak, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias (kadang-kadang ditambah Lubu dan Siladang yang berada di wilayah Mandailing). Demikian juga dalam kehidupan suku-suku pendatang, seperti suku Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, Aneuk Jamee), Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, Bugis, dan termasuk suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini. Aspek musikal puisi lama dalam tradisi sastra lisan yang terdapat di Sumatera Utara, misalnya, dalam masyarakat Melayu dijumpai genre gurindam (teks keagamaan Islam dengan kategorisasi pasal-pasal), nazam (teks agama Islam satu bait dua baris, khusus dari Malaka), dan barzanji (teks berbahasa Arab atau terjemahannya dalam bahasa Melayu yang menceritakan tentang keberadaan Nabi Muhammad SAW). Di dalam tradisi masyarakat Batak Toba ada andung-andung (juga sastra yang bertemakan tentang kesedihan yang disajikan di depan jenazah); dalam masyarakat Aceh ada dedeng (syair tradisional Aceh) dan panton (pantun dalam bahasa Aceh Rayeuk); dalam masyarakat Minangkabau ada bakaba (pantun-pantun dalam bahasa Minangkabau yang temanya adalah tentang kebudayaan Minangkabau secara umum); dan dalam masyarakat Banjar terdapat penggabungan pantun dan syair berbentuk syair madihin. Pada hakikatnya, tradisi pantun dan syair dalam masyarakat Banjar di Langkat merupakan tradisi lisan, sehingga keberadaannya berkaitan pula dengan aspek akustik dalam kajian fonologi prosodi. Hal ini semakin menarik perhatian peneliti untuk mengungkapkan struktur kelisananannya. Struktur kelisanan itu berkaitan dengan akustik. Akustik berperan terhadap simbol-simbol bahasa dengan ciri menggambarkan sebuah ekspresi yang disampaikan oleh penutur. Tuturan adalah bunyi-bunyi bahasa yang berkesinambungan di dalam penyampaian pesan. Ide dalam tuturan, untaian kata-kata, dan cara pengucapannya merupakan paduan struktur leksikal dengan faktor segmental dan suprasegmental. Sementara itu, orang yang mempersepsikan tuturan itu cenderung menurut ciri akustik sebanyak-banyaknya, termasuk ciri akustik dalam bahasa daerah. Berkaitan dengan bunyi bahasa dalam tuturan, maka bunyi tersebut berperan besar sebagai kesan pada pusat syaraf akibat dari getaran gendang telinga yang beraksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi pada bahasa adalah termasuk lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Kridalaksana, 1983:27). Dalam ilmu-ilmu bahasa, kajian yang mencakup aspek-aspek pendukung verbal itu lazim dikaji dalam bidang prosodi. Menurut Chaeyanara (2007:105), bunyi pada sebuah konsonan di dalam vokal pada sebuah ucapan, adalah termasuk tinggi rendahnya tekanan, panjang pendek dan tempo pada bunyi. Ciri prosodi bunyi pada sebuah konsonan di dalam prosodi (prosodi fiature) dilambangkan dengan tanda-tanda tertentu yang berbeda dengan bunyi vokal konsonan atau suku kata. Selanjutnya, menurut Zahid, dkk. (2008:1), komunikasi yang berlangsung antara seorang individu dengan individu lain, diiringi dengan menggunakan fitur-fitur (fiature) prosodi tertentu. Penggunaan fitur-fitur prosodi ini adalah untuk menentukan tujuan komunikasi tercapai. Penggunaan fitur-fitur prosodi tidak dilakukan sewenang-wenang, tetapi terkonsep oleh penuturnya. Kosep dan terapan berbahasa dengan menggunakan aspek prosodi ini berlangsung serentak antara berpikir dan menyajikannya. Bahasa yang terujar melibatkan pergerakan naik turunnya nada (pitch movements), kuat atau lemahnya suara (sound density), tempo yaitu cepat atau lambatnya penyajian, dan lainnya. Fitur-fitur prosodi ini wajib ada, karena tanpanya akan menghasilkan ujaran yang monoton (senada saja dan berlawanan dengan intonasi yang dikehendaki, baik secara sosial maupun budaya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar